Angklung |
Asal-usul
Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga
bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang
berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga
angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan
Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda
(abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu,
seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang
agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan
pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor,
adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau.
Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan
untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen).
Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk
bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda,
di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi
angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada
masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda
sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat
membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak-
anak pada waktu itu.[rujukan?]
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri
tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari
batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah
struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan
permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan
dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang
sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi
iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan
sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena
—tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan
laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana
bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.
Jenis Angklung
Angklung Kanekes
Angklung Dogdog Lojor
Angklung Gubrag
Angklung Badeng
Angklung Padaeng
Angklung Sarinande
Angklung Toel
Angklung Sri-Murni
Teknik Permainan Angklung
Memainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal memegang rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga angklung tergantung bebas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan) menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar menggoyang angklung:
- Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai, dimana tangan kanan memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan berkali-kali selama nada ingin dimainkan.
- Centok (sentak), adalah teknik dimana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja (stacato).
- Tengkep, mirip seperti kurulung namun salah satu tabug ditahan tidak ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung mengeluarka nada murni (satu nada melodi saja, tidak dua seperti biasanya). Sementara itu pada angklung akompanimen mayor, teknik ini digunakan untuk memainkan akord mayor (3 nada), sebab bila tidak ditengkep yang termainkan adalah akord dominan septim (4 nada).
Berlatih Angklung
Angklung akan terdengar merdu dan megah jika dimainkan beramai-ramai
dengan kompak. Untuk itu, diperlukan persiapan dan latihan yang cukup
panjang, dipimpin pelatih yang cukup punya pemahaman musik umum maupun
angklung. Tahap-tahap persiapannya adalah:
- Pilih lagu dengan aransemennya. Lagu yang cocok dimainkan dengan angklung umumnya yang berirama riang, dan jika bisa ada bagian yang rancak, sehingga bisa diimprovisasi dengan teknik centok. Lagu ini kemudian perlu diaransemen khusus untuk angklung, dengan memiliki beberapa suara. Untuk latihan, aransemen ini kemudian ditulis di kertas yang besar (biasanya dalam notasi not angka).
- Siapkan unit angklung sesuai aransemen. Dari aransemen angklung, bisa diketahui berapa angklung yang diperlukan berdasar rentang nada lagu dan keseimbangan intonasinya.
- Kumpulkan pemain dan distribusikan angklung kepada mereka. Jika ada pemain yang memegang banyak angklung, harus diperhatikan agar si pemain tersebut tidak akan pernah memainkan dua angklung pada saat bersamaan. Untuk itu biasanya dipakai tabel tonjur.
- Pemanasan. Sebelum berlatih, sebaiknya lemaskan dulu kaki dan tangan, lalu lakukan gerakan-gerakan dasar untuk kurulung maupun centok bersama-sama.
- Mempelajari lagu. Bersama-sama, pelajari dan telusuri alur lagu, mana bait-bait dan chorus yang harus diulang. Perlahan-lahan mainkan lagu ini dibawah pimpinan konduktor. Disarankan agar selama latihan awal semua nada di-centok saja, jangan dikurulung dulu.
- Menghafal not. Perlahan-lahan para pemain diminta menghafal not-not lagu dan bagian permainannya.
- Meningkatkan teknik. Ini tahap polesan akhir, dimana konduktor bisa mulai memimpin dengan menekankan keserempakan permainan, dinamika, maupun penjiwaan.
- Koreografi. Jika akan tampil dipentas, bisa mulai dipikirkan improvisasi agar para pemain melakukan gerakan yang menarik, tidak berdiri kaku terus menerus.
No comments:
Post a Comment